Penulis: Mega Moeharyono Puteri,drg., Ph.D.,Sp.KGA.Subsp.AIBK(K)
Gigi berlubang atau karies gigi merupakan penyakit rongga mulut yang paling umum terjadi dan anak-anak menjadi salah satu kelompok yang paling terpengaruh. Bahkan, di Indonesia karies gigi (gigi rusak/berlubang/sakit) masih menjadi masalah gigi dan mulut terbesar dengan prevalensi 45,3% dari 956.045 penduduk dan Provinsi Jawa Timur menempati salah satu provinsi dengan angka tertinggi 1. Karies gigi adalah kerusakan pada jaringan keras email dan dentin, dan sementum, dimana kerusakan terjadi akibat adanya fermentasi karbohidrat makanan oleh bakteri penyebab gigi berlubang 2.
Makanan yang mengandung karbohidrat dan minuman yang mengandung glukosa serta derivatnya dapat menyebabkan pH turun dan susasana rongga mulut menjadi asam, hingga terjadi demineralisasi gigi. Suasana rongga mulut akan asam selama sekitar 30 menit dan memerlukan waktu 60 menit untuk kembali ke suasana normal. Pengembalian suasana normal rongga mulut terjadi secara bertahap, saliva akan melakukan fungsi buffernya sehingga pH rongga mulut akan kembali ke keadaan normal. Bila terjadi konsumsi glukosa secara berulang kali dan sering akan menyebabkan rongga mulut selalu dalam keadaan asam dan saliva kehilangan fungsi buffer nya, sehingga menyebabkan demineralisasi gigi dan akhirnya terjadi karies gigi3.
Pada dasarnya penyebab karies gigi dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah frekuensi, waktu, jenis dan bentuk makanan yang di konsumsi. Salah satu jenis makanan yang dimakan adalah makanan berbahan dasar mengandung gluten. Gluten adalah protein yang berasal dari tepung terigu, sering dijumpai dalam bentuk sereal gandum, barlei, oat, ataupun masakan yang mengandung gluten terselubung seperti roti, kue tart, kue kering, dan lain-lain. Dalam gluten, komposisi karbohidrat memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan protein dan lemak4. Gluten merupakan kompleks protein yang terdiri dari komponen gliadin dan glutenin yang bersifat viskoelastik dan tidak larut dalam air 5. Sifat ini menyebabkan makanan atau zat yang mengandung gluten lebih resisten terhadap saliva sehingga menyebabkan peningkatan retensi pada permukaan gigi 6. Akibat meningkatnya asupan karbohidrat dan retensi pada permukaan gigi dalam konsumsi gluten, risiko karies pada anak juga meningkat 7,2. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak yang sering makan makanan yang mengandung gluten memiliki resiko terjadinya gigi berlubang lebih tinggi daripada anak yang makan makanan bebas gluten.
Akan tetapi pola makan bebas gluten ini cukup sulit diterapkan, karena sulitnya menghindari makanan barat yang amat populer di kalangan anak-anak seperti fried chicken, burger, dan pizza yang kebanyakan mengandung gluten. Terbatasnya pilihan produk bebas gluten yang disukai anak-anak juga menjadi masalah. Jika diet bebas gluten dilakukan secara sekaligus akan menimbulkan efek withdrawal yang serius terutama pada anak yang masih kecil, seperti nafsu makan menurun, berat badan turun, diare dan kemungkinan kurangnya asupan vitamin, mineral, dan zat lain yang terkandung dalam gluten, dimana jika dilakukan pola makan bebas gluten harus tetap diganti dengan konsumsi sumber makanan lain 8. Contoh beberapa makan pengganti gluten atau makanan bebas gluten yang mengandung mineral, vitamin adalah sebagai berikut , untuk buah – buahan dapat dipilih pisang, apel, jeruk, jeruk bali, pir, buah beery. Untuk sayur dan biji- bijian dapat dipilih; biji quinoa, olahan kedelai berupa tempe/ tahu, beras merah, bayam, brokoli dan kol. Protein hewani bebas gluten yang dapat dimakan seperti daging merah, daging unggas, ikan segar. Untuk gandum tidak disarankan karena mengandung gluten. Diet bebas gluten juga sering kali melibatkan pengurangan makanan dan minuman yang mengandung gula tambahan. Hal ini juga dapat membantu mengurangi risiko kerusakan gigi.
Konsumsi gluten juga dapat menyebabkan inflamasi usus dan gangguan pencernaan lainnya pada beberapa individu. Oleh karena itu, ketika gluten dieliminasi dari diet, maka inflamasi usus dan gangguan pencernaan yang berhubungan dengan gluten dapat berkurang. Berkurangnya peradangan usus dan peningkatan penyerapan nutrisi dapat berperan dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut. Inflamasi usus dapat mengganggu penyerapan nutrisi yang penting bagi kesehatan gigi dan mulut, seperti kalsium dan vitamin D. Kalsium merupakan komponen penting dalam pembentukan dan pemeliharaan enamel, sedangkan vitamin D berperan dalam penyerapan kalsium. Dengan demikian, peningkatan penyerapan nutrisi dapat membantu memperkuat gigi anak sehingga mengurangi risiko kerusakan gigi 9. Bila terjadi inflamsi usus dan gangguan pencernaan karena konsumsi gluten secara berturut –turut juga dapat dihubungkan dengan gangguan sistem imun. Dimana system imun menjadi kurang dan tidak mampu melawan infeksi penyakit tertentu. Akibatnya, individu dalam usia rentan (anak-anak) mudah tertular virus ataupun penyakit. Beberapa individu yang tidak terbiasa mengonsumsi gluten dalam jumlah banyak akan mengalami radang serta infeksi pada bagian tenggorokan. Infeksi ini biasanya menyebabkan beberapa gejala seperti sulit menelan makanan, dan rasa gatal di tenggorokan. Kemungkinan besar kondisi ini disebabkan oleh hipersensitif kerongkongan pada senyawa peptida yang terdapat pada gluten 10,11.
Dalam keadaan normal, sebagian besar protein (gluten dan casein) dicerna menjadi asam amino, sisanya menjadi peptida. Peptida berasal dari gluten disebut gluteomorphin/gliadorphine dan peptida casein disebut caseomorphin. Kedua zat ini tidak tercerna sempurna sehingga bersama aliran darah akan masuk otak. Peptida tersebut dikirim ke otak, kemudian ditangkap oleh reseptor opioid. Kondisi opioid menyerupai kondisi seperti baru mengkonsumsi obat-obatan serupa morfin atau heroin. Peningkatan aktivitas opioid akan menyebabkan gangguan susunan saraf pusat dan dapat berpengaruh terhadap persepsi, emosi, perilaku dan sensitivitas. Kadar morfin yang tinggi menyebakan anak menjadi lebih aktif, bahkan layaknya zat morfin pada narkotika dan obat-obatan terlarang akan berimbas pada kebalnya anak dari rasa sakit 11.
Pada dasarnya makanan yang dikonsumsi oleh anak seharusnya memenuhi gizi seimbang, meskipun anak memiliki kesukaan terhadapa makanan tertentu, namun makanan mengandung gluten sebaiknya dilakukan pembatasan oleh orangtua. Gluten termasuk protein yang sulit dicerna dan dengan konsumsi berturut – turut berpotensi mempengaruhi susunan saraf pusat berupa hiperaktivitas yang berhubungan dengan gejala autis.
Seperti banyak aspek kesehatan lainnya, respons individu terhadap risiko karies dapat bervariasi. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan gigi, antara lain faktor genetik, pola diet, perawatan gigi, status kesehatan gigi masa lalu dan saat ini, status kesehatan umum masa lalu dan saat ini, kebersihan gigi dan mulut, serta gaya hidup dan status sosial ekonomi individu. Dalam menilai kesehatan gigi, penting untuk mempertimbangkan seluruh faktor tersebut, tidak hanya apakah mereka mengikuti diet bebas gluten atau tidak saja12,13.
Usaha untuk menjaga kesehatan rongga mulut tetap diperlukan. Sebagaimana telah disebutkan makanan tidak hanya menjadi faktor utama terjadinya gigi berlubang. Maka dari itu diperlukan pembersihan rongga mulut dengan menyikat gigi secara teratur. Sikat gigi sehari dua kali di saat sehabis makan pagi dan malam sebelum tidur tetap diperlukan. Bila anak tidak dapat melakukan pembersihan gigi dari sisa makanan , dapat dibantu oleh orang tuanya.
Daftar Pustaka
- Mukhbitin, F. (2018). Gambaran Kejadian Karies Gigi pada Siswa Kelas 3 SD. Jurnal Promkes, 6(2), 155–166
- Yadav, K., & Prakash, S. (2016). Dental Caries: A Review. Asian Journal of Biomedical and Pharmaceutical Sciences, 6(53), 01–07. https://doi.org/10.15272/ajbps.v6i53.773
- Kidd, E., & Fejerskov, O. (2016). Essentials of Dental Caries. Oxford University Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1093/oso/9780198738268.001.0001
- Gunawan, I. K. T. H. (2022). Kualitas Mi Bercampur Rumput Laut Difortifikasi Dengan Kacang Kedelai. Jurnal Mahasiswa Pariwisata Dan Bisnis , 1(8), 1965–1978.
- García Ibarra, V., Sendón, R., & Rodríguez-Bernaldo de Quirós, A. (2016). Antimicrobial Food Packaging Based on Biodegradable Materials. In Antimicrobial Food Packaging (pp. 363–384). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-800723-5.00029-2
- Ozdemir, D. (2013). Dental Caries : The Most Common Disease Worldwide and Preventive Strategies. International Journal of Biology, 5(4). https://doi.org/10.5539/ijb.v5n4p55
- Siron, Y., Muslihah, L., Sari, N., & Dina, A. E. S. (2021). Diet Untuk Anak Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD): Tantangan Orang Tua. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Undiksha, 8(3), 161. https://doi.org/10.23887/paud.v8i3.25701
- Bagaskorowati, R., Ayesadira, M., Ramadhanti, F., & Sumantri, V. (2022). Urgensi Diet Gluten Dan Casein Free Pada Hiperaktivitas Individu Autisme Dan Adhd. Journal of Innovation Research and Knowledge, 1(10).
- Vici, G., Belli, L., Biondi, M., & Polzonetti, V. (2016). Gluten free diet and nutrient deficiencies: A review. Clinical Nutrition, 35(6), 1236–1241. https://doi.org/10.1016/j.clnu.2016.05.002
- Halo sehat .com. Sepuluh Bahaya Gluten Bagi Kesehatan Tubuh. https://halosehat.com/makanan/makanan-berbahaya/bahaya-gluten
- Pertiwi,K.R. Aspek Biomedis Pencernaan Anak Penyandang Autis: Konsumsi Gluten-casein dan perilaku hiperaktifitas, Jurusan Program Pengabdian Masyarakat, Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Negeri Yogyakarta,
- Paszynska, E., Krahel, A., Pawinska, M., Dmitrzak-Węglarz, M., Perczak, A., Słopień, A., & Gawriolek, M. (2022). Management for Caries Prevention in ADHD Children. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(12), 7455. https://doi.org/10.3390/ijerph19127455.
- Tuna Kırsaçlıoğlu, C., Hizal, G., Dinç, G., Temtek Güner, S., Sanda, S., & Üneri, Ö. (2021). Attention-deficit Hyperactivity Disorder and Gluten Sensitivity in Children. The Journal of Pediatric Research, 8(3), 326–329. https://doi.org/10.4274/jpr.galenos.2020.77906.
Tentang penulis
Mega Moeharyono Puteri,drg., Ph.D.,Sp.KGA.Subsp.AIBK(K) adalah staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga dengan jabatan akademik Lektor Kepala. Saat ini menjabat sebagai Coordinator World Universities Association for Community Development.